Oleh: Al Faqir Agus Rizky Sujarwo
بـــــســم الله الرحـمـن الرحـيـن
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya dan memohon ampunan-Nya, dan kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan dari keburukan-keburukan amal kami. Barang siapa yang diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada sesuatupun yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu apapun bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sebagai seorang muslim saya tidak boleh berdusta dalam berbicara/menulis, tetapi berkata/menulis yang haq sekalipun pahit didengar/dibaca orang lain adalah bagian dari jihad. Saya berusaha untuk menjauhkan diri dari dusta apalagi memfitnah terhadap apa yang akan saya tulis di bawah ini karena saya takut kepada Allah untuk berbuat yang demikian. Tetapi jika tulisan ini akan menyakiti hati para ikhwan bukan berarti tulisan ini salah dan keliru karena terkadang sebuah kebenaran akan menyakitkan hati siapapun jika diterima oleh hawa, bukan hati yang bening dan iman yang bersih.
Berita tentang akan datangnya masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah pada akhir zaman bagi dunia islam sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari sahabat Hudzaifah, harus diyakini sebagai solusi kesatuan muslimin dan kemenagannya dalam menghadapi musuh-musuh islam. Banyak para aktivis dan juga politikus muslim yang menyambut hadits ini dengan sangat antusias dan berusaha memaksakan dirinya untuk mewujudkan tegaknya khilafah tanpa memahami makna khilafah dari para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian di sana-sini lahirlah gerakan hizbiyah dan ashabiyah dalam wadah jamaah yang mengatasnamakan persatuan umat islam. Maka lahirlah imam-imam atau khilafah-khilafah hizbiyah seperti pemimpin IM, NII, Islam Jamaah, Ahmadiyah, Jamaah Muslimin dan seterusnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk memahami bagaimanakah wujud Khilafah ala minhajin nubuwwah ? secara ringkas gambarannya adalah sebagai berikut; Khilafah itu dibangun di atas tauhid dan dakwah menuju tauhid serta memerangi kesyirikan dengan segala macam bentuknya sehingga tidak ada lagi bentuk peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah. Ditegakkan sunnah Rasulullah serta dakwah menuju sunnah serta memerangi segala bentuk bid’ah baik dalam akidah maupun ibadah. Ditegakkannya hukum tertinggi di dunia yang berkeadilan dengan syariat Allah sehingga kondisi masyarakat menjadi aman, tentram dan sentausa. Ditegakkannya kewajiban shalat berjamaah, zakat, shaum dan haji sebagai kewajiban yang asasi bagi muslimin. Demikian gambaran Khilafah seperti ini telah dipraktekkan oleh Khulafa’ur Rasyidin sebagai generasi terbaik bagi umat islam.
Apakah pengakuan para khalifah yang sekarang memimpin jamaahnya sudah demikian keadaannya? Tentu saja jawabnya adalah belum dan bahkan mereka telah jauh menyimpang dari syariat Islam. Mereka adalah orang yang berjuang menegakkan khilafah tidak dengan ilmu, mereka mengaku sebagai khalifah bahkan di antaranya ada yang mengaku sebagai Nabi, Imam Mahdi, ada pula yang mengaku sebagai Jibril versi Lia Aminudin dan seterusnya.
Bagaimanakah dengan pengakuan Khalifah Wali Al Fattah rahimahullah ? Inilah gambaran Khilafah Wali Al Fattaah rahimahullah yang sangat jauh berbeda dengan Khulafa’ur Rasyiddin.
1. Lembaga Khilafah yang dibangun oleh Khulafa’ur Rasyiddin berpijak di atas kekuasaan dan oleh karenanya salah satu fungsinya adalah menjaga tegaknya syariat Islam, termasuk di dalamnya menjalankan Hukum Pidana dan Perdata Islam. Yang demikian tidak mungkin dilaksanakan oleh Wali Al-Fattaah rahimahullah dan penerusnya karena mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Islam seperti tersebut di atas. Jangankan untuk melaksanakan hukum potong tangan, menyuruh kepada muslimin untuk memelihara jenggot dan memotong kumis saja saya belum pernah mendengarnya. Ketika ditanyakan kepada jamaah ini mengapa khalifah tidak melaksanakan hukum had, rajam dan cambuk? Para asatidz di jamaah ini berdalil bahwa “Allah tidak membebani kepada seseorang kecuali kadar kemampuan.” Mengapa kita harus menegakkan khilafah kalau kita belum mampu? Bukankah Allah tidak akan menghukum umat islam ketika kita belum mampu menegakkan khilafah?
2. Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman “… Talzamu Jama’atal Muslimin wa Imaamahum…” Redaksi hadits di atas bukanlah perintah (fi’il amr) untuk mendirikan Jamaah Muslimin dan membaiat Imamnya, tetapi agar muslimin istiqamah bersama mayoritas kaum muslimin dan penguasanya dalam suatu negeri, apakah mereka di bawah pemimpin seorang raja, presiden atau khalifah, bukan malah sebaliknya mendirikan jamaah baru. Sedangkan apabila mereka itu tidak ada, maka perintahnya adalah “…fa’tazil tilkal firaqa kulaha…” yaitu menghindari firqah-firqah yang ada. Menurut pemahaman ulama ahlus sunnah wal jamaah yang dimaksud Jama’ah Muslimin dalam hadits itu adalah kaum muslimin dalam suatu negeri, bukan jamaah muslimin produk Wali Al Fattaah rahimahullah. Oleh karena itu Jamaah Muslimin sudah ada sejak zaman Rasulullah hingga sekarang dan tidak pernah menghilang. Justru Wali Al Fattah rahimahullah telah memisahkan diri dari Jamaah Muslimin dalam arti yang sebenarnya.
3. Disebutkan dalam bukunya Wali Al-Fattaah rahimahullah dibai’at sebagai Imam gerakan Islam “Hizbullah” pada tanggal 20 Agustus 1953, tetapi beliau masih menjabat sebagai Kepala Biro Politik dari 1 Oktober 1952 – 11 Desember 1958. dan pada tanggal 1 Januari 1961 – 31 Oktober 1964 menjadi kepala Biro Politik Kementrian Dalam Negeri di Jakarta. Hal ini sangat kontradiktif dengan statement jamaah yang dipimpinnya yaitu “Islam Non Politik.” Menurut Hartono Ahmad Jaiz, pada tahun 1954 (yang benar 1953,pen) Presiden Soekarno menyuruh temannya yang bernama Wali Al Fattaah untuk mendirikan jamaah (gerakan Islam “Hizbullah” pen) yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (non politik) untuk menandingi gerakan politik NII yang dipimpin oleh Karto Suwiryo. (Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, 2006 hal 76-77). Melihat kiprah politik Wali Al Fattaah rahimahullah di pemerintahan RI, padahal beliau adalah seorang Khalifah juga pada saat yang sama, sungguh ini sebuah kejadian dan pengalaman yang sangat lucu. Seorang Khalifah bekerja di pemerintahan lain yang berbeda haluan dan tujuan. Di mana tanggung jawab beliau terhadap Allah sebagai seorang Khalifah?
4. Pada kenyataannya fase kepemimpinan ummat Islam sekarang ini bukanlah berada pada fase Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah sebagaimana yang diklaim oleh Jamaah Muslimin, akan tetapi ummat Islam sekarang ini yang berjumlah lebih dari 1.4 miliar dan tersebar di seluruh penjuru dunia berada di bawah kekuasaan Mulkan Jabariyyah yaitu Penguasa (Raja, Kepala Negara, Perdana Mentri) yang sombong, yakni mereka tidak menggunakan hukum Allah yaitu Al-Qur’an dan Sunnah (kecuali beberapa penguasa/raja saja) sebagai dasar kepemimpinannya. Dalam keadaan seperti ini kaum muslimin tetap harus mendengar dan taat pada penguasa yang zalim sekalipun, bukannya mengadakan pemberontakan dan memisahkan diri dari jamaah muslimin dengan mendirikan jamaah tandingan yang menyebabkan umat Islam menjadi berpecah belah. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Hudzaifah bin Al Yaman di sana dijelaskan bahwa, sebelum Allah mendatangkan masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagai periode terakhir kepemimpinan umat islam, Allah Swt terlebih dahulu mengangkat atau meniadakan masa mulkan jabariyyah ( penguasa yang sombong/tiran) dan sekarang ini penguasa-penguasa yang tiran belum diangkat oleh Allah dari permukaan bumi. Lebih jelas inilah potongan terjemahan teks haditsnya “…Setelah itu (kaum muslimin berada di tengah-tengah) masa kerajaan yang sombong adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Kemudian beliau diam.” Perhatikan kalimat yang bergaris bawah, jadi sebelum masa Khilafah ala mihajin nubuwwah datang, Allah terlebih dahulu mengangkat masa Mulkan Jabariyah. Jadi sekarang ini kaum muslimin masih berada pada masa Mulkan Jabariyah, bahkan sedang kuat-kuatnya.
5. Persoalan kevakuman Khalifah bagi dunia Islam adalah merupakan hak Allah yang Maha Mengatur. Allah berhak memberikan dan mencabut Khalifah atau kekuasaan itu sesuai dengan masa yang dikehendaki-Nya. Umat Islam tidak harus memaksakan diri menegakkan khilafah apabila kondisinya tidak memungkinkan. Wali Al Fattah rahimahullah memberanikan diri memikul tanggung jawab sebagai Khalifah tanpa mempertimbangkan pendapat jumhur ulama sedunia. Setelah Khalifah ditegakkan beliau malah sibuk ngurusi jabatan di pemerintahan Indonesia, baru setelah beliau pensiun dari jabatan Kepala Biro Politik Kementrian Dalam Negeri di Jakarta, beliau lebih menfokuskan perhatiannya untuk menyeru kaum muslimin agar kembali pada khiththah Rasulullah Saw. Wali Al Fattaah rahimahullah dan penerusnya telah mempraktekkan model khilafah gaya baru yang jauh tidak sesuai dengan praktek Khulafa’ur Rasyiddin.
6. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah yang akan datang nanti (hanya Allah yang menentukan saatnya) memang akan menjadi jalan keluar penyatuan bagi kaum muslimin, tetapi Khilifah ala Wali Al Fattaah rahimahullah justru menambah perpecahan di kalangan muslimin. Jangankan untuk menyelesaikan problem umat Islam di dunia, menyelesaikan umat Islam di Desa Pasirangin, Cileungsi (tempat markaznya) saja belum mampu. Padahal Khilafah ini sudah 53 tahun yang lalu berdiri.
7. Wali Al-Fattaah rahimahullah berpandangan bahwa masa khulafa’ur Rasyidin hanya sampai pada Khalifah Ali Bin Abu Thalib Ra, dan Muawiyyah menurutnya adalah seorang Raja. Artinya kaum muslimin pada saat itu tidak memiliki Imam atau Khalifah menurutnya. Padahal pada saat itu tidak ada di antara para sahabat yang menentang kekhalifahan Muawiyyah bahkan sahabat Ibnu Abbas pada saat itu menjabat sebagai Wali (Gubernur) di Madinah. Mengapa sahabat Ibnu Abbas tidak mendirikan Khalifah saja di Madinah seperti yang dilakukan Wali Al-Fattaah rahimahullah di Indonesia? Apakah Wali Al Fattaah rahimahullah lebih berilmu dari sahabat yang mulia Ibnu Abbas Ra? Dan mengapa juga para tabi’in tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Wali Al Fattaah rahimahullah?
8. Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits Rasulullah bersabda: إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهم “Apabila dibai’at dua orang Khalifah (Imaam), maka bunuhlah (Khalifah) yang terakhir dari antara keduanya.” Mengapa Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah tidak mengamalkan hadits ini, yakni membunuh/memerangi khalifah-khalifah yang kemudian? Bukankah Amir Islam Jama’ah/LDII dan Ahmadiyah mengaku sebagai Khalifah juga? Bahkan beberapa waktu yang lalu Lia Aminudin mengaku sebagai jelmaan malaikat Jibril, mengapa bukan sang Khalifah yang menangkapnya tetapi malah pemerintah Indonesia jauh lebih peduli. Kalimat فقتلوا dalam hadits di atas mau ditafsiri apalagi? Apakah mereka tidak yakin dengan hadits tersebut atau takut kalah dalam perang? Atau takut dihukum sebelum perang oleh penguasa yang sah? Bukankah perintah membunuh dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa Khalifah itu harus berkuasa dan memiliki kekuatan? Ketika Khalifah Abu Bakar memerangi sekelompok orang yang tidak membayar zakat, bukankah hal ini menunjukkan Beliau orang yang menjaga amanah sebagai Khalifatur Rasul? Di sini timbul pertanyaan apakah hadits itu yang salah dan keliru atau sebaliknya model khilafah Wali Al Fattah rahimahullah yang salah? Jika hadits di atas tidak dapat diamalkan oleh sang Khalifah, berart Khalifahnya yang tidak beres. Kalau mau mengikuti sunnah Khulafa’ur Rasyiddin Al Mahdiyyin maka buktikanlah, berlakulah seperti Khalifah Abu Bakar perangi orang yang tidak membayar zakat. Berlakulah seperti Khalifah Umar rebutlah Yerusalem, Al Aqsha dengan pedang atau senjata bukan dengan model gerak jalan ala Khilafah gaya baru.
9. Jama’ah Muslimin bukanlah sebuah nama yang harus didakwahkan atau menjadi label dari sebuah Kop Surat layaknya organisasi atau hizbiyyah. Jamaah Muslimin adalah esensi/eksistensi dari kaum muslimin itu sendiri yang tidak dapat di klaim/monopoli oleh satu kelompok/golongan tertentu. Dakwah umat Islam dari dulu, sekarang hingga nanti adalah mentauhidkan Allah dan ittiba’ Rasul. Dalam keadaan umat islam berpecah-belah dan bergolong-golong di bawah penguasa-penguasa negeri, muslimin tidak diperintahkan mendirikan khalifah untuk menyatukan umat islam, karena memang mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu sekalipun dengan membelanjakan emas sepenuh bumi. Saya sama sekali tidak pernah mendengar/membaca baik dalam hadits maupun tarikh bahwa Khalifah Rasyidah dari masjid-ke masjid mendakwahkan kalimat jamaah muslimin (Hizbullah) dengan mengatasnamakan persatuan muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah dan penggantinya. Hanya Allahlah yang berkuasa menyatukan ummat-Nya dan hanya Allah yang Maha Mengatur.
10. Tugas seorang Khalifah bukan sekedar mendatangi majlis ta’lim dari kampung satu ke kampung lain dan mengadakan musyawarah-musyawarah rutin yang tidak ada habis-habisnya, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Wali Al Fattaah rahimahullah dan penerusnya. Lebih dari itu fungsi Khalifah adalah melindungi nasib muslimin di seluruh dunia dari gangguan dan kezaliman kaum kuffar, menciptakan stabilitas keamanan dengan menegakkan hukum tertinggi di dunia yang berkeadilan serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi muslimin yang bebas riba di samping masih banyak tugas dan tanggung jawab lainnya. Namun tugas yang utama ini justru ditinggalkan oleh Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah dan penerusnya.
11. Perhatikanlah hadits di bawah ini agar kita tidak terjebak dengan pemahaman yang keliru tentang makna kalimat تلزم جماعة المسلمين وإمامهم
2. Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman “… Talzamu Jama’atal Muslimin wa Imaamahum…” Redaksi hadits di atas bukanlah perintah (fi’il amr) untuk mendirikan Jamaah Muslimin dan membaiat Imamnya, tetapi agar muslimin istiqamah bersama mayoritas kaum muslimin dan penguasanya dalam suatu negeri, apakah mereka di bawah pemimpin seorang raja, presiden atau khalifah, bukan malah sebaliknya mendirikan jamaah baru. Sedangkan apabila mereka itu tidak ada, maka perintahnya adalah “…fa’tazil tilkal firaqa kulaha…” yaitu menghindari firqah-firqah yang ada. Menurut pemahaman ulama ahlus sunnah wal jamaah yang dimaksud Jama’ah Muslimin dalam hadits itu adalah kaum muslimin dalam suatu negeri, bukan jamaah muslimin produk Wali Al Fattaah rahimahullah. Oleh karena itu Jamaah Muslimin sudah ada sejak zaman Rasulullah hingga sekarang dan tidak pernah menghilang. Justru Wali Al Fattah rahimahullah telah memisahkan diri dari Jamaah Muslimin dalam arti yang sebenarnya.
3. Disebutkan dalam bukunya Wali Al-Fattaah rahimahullah dibai’at sebagai Imam gerakan Islam “Hizbullah” pada tanggal 20 Agustus 1953, tetapi beliau masih menjabat sebagai Kepala Biro Politik dari 1 Oktober 1952 – 11 Desember 1958. dan pada tanggal 1 Januari 1961 – 31 Oktober 1964 menjadi kepala Biro Politik Kementrian Dalam Negeri di Jakarta. Hal ini sangat kontradiktif dengan statement jamaah yang dipimpinnya yaitu “Islam Non Politik.” Menurut Hartono Ahmad Jaiz, pada tahun 1954 (yang benar 1953,pen) Presiden Soekarno menyuruh temannya yang bernama Wali Al Fattaah untuk mendirikan jamaah (gerakan Islam “Hizbullah” pen) yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (non politik) untuk menandingi gerakan politik NII yang dipimpin oleh Karto Suwiryo. (Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, 2006 hal 76-77). Melihat kiprah politik Wali Al Fattaah rahimahullah di pemerintahan RI, padahal beliau adalah seorang Khalifah juga pada saat yang sama, sungguh ini sebuah kejadian dan pengalaman yang sangat lucu. Seorang Khalifah bekerja di pemerintahan lain yang berbeda haluan dan tujuan. Di mana tanggung jawab beliau terhadap Allah sebagai seorang Khalifah?
4. Pada kenyataannya fase kepemimpinan ummat Islam sekarang ini bukanlah berada pada fase Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah sebagaimana yang diklaim oleh Jamaah Muslimin, akan tetapi ummat Islam sekarang ini yang berjumlah lebih dari 1.4 miliar dan tersebar di seluruh penjuru dunia berada di bawah kekuasaan Mulkan Jabariyyah yaitu Penguasa (Raja, Kepala Negara, Perdana Mentri) yang sombong, yakni mereka tidak menggunakan hukum Allah yaitu Al-Qur’an dan Sunnah (kecuali beberapa penguasa/raja saja) sebagai dasar kepemimpinannya. Dalam keadaan seperti ini kaum muslimin tetap harus mendengar dan taat pada penguasa yang zalim sekalipun, bukannya mengadakan pemberontakan dan memisahkan diri dari jamaah muslimin dengan mendirikan jamaah tandingan yang menyebabkan umat Islam menjadi berpecah belah. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Hudzaifah bin Al Yaman di sana dijelaskan bahwa, sebelum Allah mendatangkan masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagai periode terakhir kepemimpinan umat islam, Allah Swt terlebih dahulu mengangkat atau meniadakan masa mulkan jabariyyah ( penguasa yang sombong/tiran) dan sekarang ini penguasa-penguasa yang tiran belum diangkat oleh Allah dari permukaan bumi. Lebih jelas inilah potongan terjemahan teks haditsnya “…Setelah itu (kaum muslimin berada di tengah-tengah) masa kerajaan yang sombong adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Kemudian beliau diam.” Perhatikan kalimat yang bergaris bawah, jadi sebelum masa Khilafah ala mihajin nubuwwah datang, Allah terlebih dahulu mengangkat masa Mulkan Jabariyah. Jadi sekarang ini kaum muslimin masih berada pada masa Mulkan Jabariyah, bahkan sedang kuat-kuatnya.
5. Persoalan kevakuman Khalifah bagi dunia Islam adalah merupakan hak Allah yang Maha Mengatur. Allah berhak memberikan dan mencabut Khalifah atau kekuasaan itu sesuai dengan masa yang dikehendaki-Nya. Umat Islam tidak harus memaksakan diri menegakkan khilafah apabila kondisinya tidak memungkinkan. Wali Al Fattah rahimahullah memberanikan diri memikul tanggung jawab sebagai Khalifah tanpa mempertimbangkan pendapat jumhur ulama sedunia. Setelah Khalifah ditegakkan beliau malah sibuk ngurusi jabatan di pemerintahan Indonesia, baru setelah beliau pensiun dari jabatan Kepala Biro Politik Kementrian Dalam Negeri di Jakarta, beliau lebih menfokuskan perhatiannya untuk menyeru kaum muslimin agar kembali pada khiththah Rasulullah Saw. Wali Al Fattaah rahimahullah dan penerusnya telah mempraktekkan model khilafah gaya baru yang jauh tidak sesuai dengan praktek Khulafa’ur Rasyiddin.
6. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah yang akan datang nanti (hanya Allah yang menentukan saatnya) memang akan menjadi jalan keluar penyatuan bagi kaum muslimin, tetapi Khilifah ala Wali Al Fattaah rahimahullah justru menambah perpecahan di kalangan muslimin. Jangankan untuk menyelesaikan problem umat Islam di dunia, menyelesaikan umat Islam di Desa Pasirangin, Cileungsi (tempat markaznya) saja belum mampu. Padahal Khilafah ini sudah 53 tahun yang lalu berdiri.
7. Wali Al-Fattaah rahimahullah berpandangan bahwa masa khulafa’ur Rasyidin hanya sampai pada Khalifah Ali Bin Abu Thalib Ra, dan Muawiyyah menurutnya adalah seorang Raja. Artinya kaum muslimin pada saat itu tidak memiliki Imam atau Khalifah menurutnya. Padahal pada saat itu tidak ada di antara para sahabat yang menentang kekhalifahan Muawiyyah bahkan sahabat Ibnu Abbas pada saat itu menjabat sebagai Wali (Gubernur) di Madinah. Mengapa sahabat Ibnu Abbas tidak mendirikan Khalifah saja di Madinah seperti yang dilakukan Wali Al-Fattaah rahimahullah di Indonesia? Apakah Wali Al Fattaah rahimahullah lebih berilmu dari sahabat yang mulia Ibnu Abbas Ra? Dan mengapa juga para tabi’in tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Wali Al Fattaah rahimahullah?
8. Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits Rasulullah bersabda: إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهم “Apabila dibai’at dua orang Khalifah (Imaam), maka bunuhlah (Khalifah) yang terakhir dari antara keduanya.” Mengapa Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah tidak mengamalkan hadits ini, yakni membunuh/memerangi khalifah-khalifah yang kemudian? Bukankah Amir Islam Jama’ah/LDII dan Ahmadiyah mengaku sebagai Khalifah juga? Bahkan beberapa waktu yang lalu Lia Aminudin mengaku sebagai jelmaan malaikat Jibril, mengapa bukan sang Khalifah yang menangkapnya tetapi malah pemerintah Indonesia jauh lebih peduli. Kalimat فقتلوا dalam hadits di atas mau ditafsiri apalagi? Apakah mereka tidak yakin dengan hadits tersebut atau takut kalah dalam perang? Atau takut dihukum sebelum perang oleh penguasa yang sah? Bukankah perintah membunuh dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa Khalifah itu harus berkuasa dan memiliki kekuatan? Ketika Khalifah Abu Bakar memerangi sekelompok orang yang tidak membayar zakat, bukankah hal ini menunjukkan Beliau orang yang menjaga amanah sebagai Khalifatur Rasul? Di sini timbul pertanyaan apakah hadits itu yang salah dan keliru atau sebaliknya model khilafah Wali Al Fattah rahimahullah yang salah? Jika hadits di atas tidak dapat diamalkan oleh sang Khalifah, berart Khalifahnya yang tidak beres. Kalau mau mengikuti sunnah Khulafa’ur Rasyiddin Al Mahdiyyin maka buktikanlah, berlakulah seperti Khalifah Abu Bakar perangi orang yang tidak membayar zakat. Berlakulah seperti Khalifah Umar rebutlah Yerusalem, Al Aqsha dengan pedang atau senjata bukan dengan model gerak jalan ala Khilafah gaya baru.
9. Jama’ah Muslimin bukanlah sebuah nama yang harus didakwahkan atau menjadi label dari sebuah Kop Surat layaknya organisasi atau hizbiyyah. Jamaah Muslimin adalah esensi/eksistensi dari kaum muslimin itu sendiri yang tidak dapat di klaim/monopoli oleh satu kelompok/golongan tertentu. Dakwah umat Islam dari dulu, sekarang hingga nanti adalah mentauhidkan Allah dan ittiba’ Rasul. Dalam keadaan umat islam berpecah-belah dan bergolong-golong di bawah penguasa-penguasa negeri, muslimin tidak diperintahkan mendirikan khalifah untuk menyatukan umat islam, karena memang mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu sekalipun dengan membelanjakan emas sepenuh bumi. Saya sama sekali tidak pernah mendengar/membaca baik dalam hadits maupun tarikh bahwa Khalifah Rasyidah dari masjid-ke masjid mendakwahkan kalimat jamaah muslimin (Hizbullah) dengan mengatasnamakan persatuan muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah dan penggantinya. Hanya Allahlah yang berkuasa menyatukan ummat-Nya dan hanya Allah yang Maha Mengatur.
10. Tugas seorang Khalifah bukan sekedar mendatangi majlis ta’lim dari kampung satu ke kampung lain dan mengadakan musyawarah-musyawarah rutin yang tidak ada habis-habisnya, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Wali Al Fattaah rahimahullah dan penerusnya. Lebih dari itu fungsi Khalifah adalah melindungi nasib muslimin di seluruh dunia dari gangguan dan kezaliman kaum kuffar, menciptakan stabilitas keamanan dengan menegakkan hukum tertinggi di dunia yang berkeadilan serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi muslimin yang bebas riba di samping masih banyak tugas dan tanggung jawab lainnya. Namun tugas yang utama ini justru ditinggalkan oleh Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah dan penerusnya.
11. Perhatikanlah hadits di bawah ini agar kita tidak terjebak dengan pemahaman yang keliru tentang makna kalimat تلزم جماعة المسلمين وإمامهم
عن حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Dari Hudzaifah bin Al Yaman, saya (Hudzaifah) berkata, Ya Rasulullah, Sesungguhnya (dahulu) kami dalam keburukan maka kemudian Allah mendatangkan kebaikan dan kami ada padanya, apakah di belakang kebaikan ini akan ada keburukan? Rasul berkata: “Ya” saya berkata, apakah di belakang keburukan itu akan ada kebaikan? Rasul berkata, “Ya” saya berkata, apakah di belakang kebaikan nanti akan ada keburukan? Rasul berkata, “Ya” saya (Hudzaifah) berkata, mengapa ya Rasulullah? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bakal ada sesudahku pemimpin-pemimpin yang tidak berpetunjuk dengan petunjukku dan tidak berjalan dengan sunnahku. Dan di tengah mereka akan bangkit orang-orang yang hati mereka seperti hati syaitan-syaitan dalam bentuk manusia.” Aku (Hudzaifah) bertanya, apa yang harus saya lakukan ya Rasulullah, kalau saya menjumpai hal itu? Beliau bersabda: “Engkau harus mendengar dan mentaati pemimpin dan jikapun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka dengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim)
Hadits ini nampak lebih jelas untuk mengkompromikan dan menafsirkan hadits serupa dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang menjelaskan tentang pengertian kalimat تلزم جماعة المسلمين وإمامهم , yaitu agar kaum muslimin tetap istiqamah bersama penguasa yang sah sekalipun pemimpin itu berbuat zalim dan tidak menjalankan sunnah Rasulullah. Kaum muslimin dilarang untuk menentang dan memisahkan diri dari jamaam muslimin (mayoritas muslimin dalam suatu negeri) apalagi membentuk jamaah tandingan yang tidak sah. Perhatikan juga hadits di bawah ini Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw, ” Jihad manakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Perkataan yang benar di hadapan penguasa yang jahat/lacur.” (HR. An-Nasai) Mana ada perintah untuk memisahkan diri dari penguasa dengan membentuk jamaah (kekuatan) tandingan? Tidak ada hal seperti itu dalam ajaran Islam. Di manapun umat islam berada maka pemimpin mereka adalah penguasa negeri yang sah selagi mereka adalah muslim dan tidak menampakkan kekafirannya. Baik mereka itu menggunakan Al-Qur’an dan sunnah atau tidak dalam memimpinnya. Baik mereka itu pemimpin yang adil atau yang zalim sekalipun. Jihad bagi muslimin menghadapi penguasa yang fajir dan lacur serta yang zalim hanyalah memberi nasehat dengan perkataan yang benar. Bukan mendirikan jamaah tandingan dengan mengatasnamakan Khilafah.
12. Jamaah Muslimin (Hizbullah) mengklaim sebagai “Al Jama’ah” satu-satunya golongan yang selamat dan seorang muslim tidak boleh berada di luar jamaahnya. Salah satu yang menjadi landasannya adalah hadits ” …Sesungguhnya tidaklah seorang itu memisahkan diri dari Al Jama’ah walau sekedar sejengkal, lalu ia mati kecuali ia mati laksana kematian jahilayah.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas). Menurutnya semua muslimin yang berada di luar Khalifahnya berarti mereka berada di luar Al Jama’ah. Dengan pemahaman yang keliru tentang Al Jama’ah dari Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah, maka Imam Al-Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas bahkan beberapa sahabat dan tabi’in termasuk orang yang mati laksana kematian jahiliyah, karena beliau hidup dan mati setelah berakhirnya Khalifah Ali bin Abu Thalib Ra dan sebelum datangnya Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah. (Na’u dzubillah min dzalik)
13. Prof. Dr. Yusuf Al Qaradawi sekalipun ia juga tidak berada di atas jalan yang benar (hizbiyah) telah menulis buku edisi Indonesia yang berjudul “Khilafah Islamiyah Suatu Realita Bukan Hayalan.” Qaradawi yang pentolan IM dan sekarang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan umat islam sedunia, hingga hari ini belum berani mewujudkan Khilafah Islamiyah tersebut. Karena menurutnya ada tiga tahapan untuk mewujudkan Khilafah Islamiyah yang pertama; Kesatuan Darul Islam. Yang kedua; Kesatuan sumber hukum tertinggi. Dan yang ketiga; Kesatuan kepemimpinan pusat. Sekalipun Khilafah Islamiyah suatu realita dan bukan hayalan karena hadits juga meyebutkan demikian, tapi perjalanan untuk merealisasikan Khilafah tersebut tidaklah mudah, mungkin butuh waktu ke depan berabad-abad lamanya. Suatu hal yang amat mengejutkan bagi dunia islam yang mendengarnya bahwa Wali Al Fattaah rahimahullah yang hanya mengetahui beberapa ayat dan dalil tanpa merujuk pemahaman ulama salaf (ahlus sunnah) mengaku dirinya sebagai Khalifah hanya dengan modal baiat dari sekelompok orang saja. Beginikah ketawadhu’an seorang muslim untuk menjadi seorang Khalifah bagi dunia Islam? Dan lebih aneh lagi Khilafah yang sudah berumur 53 tahun ini belum dikenal dan tidak diakui oleh masyarakat sekitarnya, karena khilafah ini hanya bisa mengumbar janji tanpa bukti.
14. Seorang Khalifah sudah seharusnya memiliki Sumber hukum dan kekuasaan yang tertinggi, oleh karenanya ia tidak berada di bawah peraturan atau hukum orang lain. Khalifah Wali Al Fattah rahimahullah tidak memiliki perangkat hukum apapun sehingga membiarkan muslimin bahkan jamaahnya sekalipun untuk berhukum dengan hukum orang lain. Baik dalam perkara perdata maupun pidana, bahkan untuk mendirikan pesantrennya saja (Tarbiyah Khilafah katanya) mereka harus mengajukan izin dari pemerintahan lain. Kalau sudah ada pemerintahan sah yang mengatur semua urusan muslimin (ulil amri) mengapa harus mendirikan ulil amri baru? Kalau bermaksud ingin menyelamatkan akidah muslimin ikutlah jalan yang ditempuh oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in mereka adalah generasi terbaik dalam Islam. Mereka sangat paham tentang apa itu Jama’ah Muslimin, Al Jamaah dan Khilafah serta bagaimana cara mengamalkannya.
15. Wali Al Fattaah rahimahullah telah mempraktekkan bid’ah khilafah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bid’ah pertama adalah pada tanggal 20 Agustus 1953 ia memprakarsai mendirikan gerakan islam “Hizbullah.” Bid’ah kedua adalah ia menerima bai’at dari segelintir orang yang mengangkatnya menjadi Imam gerakan islam tersebut. Bid’ah ketiga beberapa tahun kemudian ia merubah nama gerakan islam “Hizbullah” tersebut menjadi “Jamaah Muslimin (Hizbullah) dugaan saya karena ia menemukan hadits “Talzamu jamaatal muslimin wa imaamahum” (tetapi ia tidak paham dengan makna yang sebenarnya) wallahu ‘alam. Bid’ah keempat ia mendakwahkan dan menta’arufkan Jamaah Muslim (Hizbullah) mestinya yang didakwahkan adalah ajakan tauhid dan menghidupkan sunnah. Bid’ah kelima ia memisahkan diri dari jamaah muslimin yang ada (kaum muslimin dalam satu negeri) kemudian menjadikan jamaahnya sebagai kelompok baru, ashabiyah dan menambah perpecahan umat islam. Inilah ciri-ciri pejuang hizbiyah yang tidak memiliki ulama, mereka berjuang untuk golongannya sendiri sekalipun mengatasnamakan khilafah fil ardh.
16. Jamaah Wali Al Fattaah rahimahullah mengklaim dirinya sebagai wujud dari Al jamaah. Bukankah tangan (kekuatan) Allah bersama Al jamaah? Sebagai khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah tidak melaksanakan hukum pidana Islam? Tidak memerangi kesyirikan? Dan juga tidak memerangi kelompok bid’ah yang mewabah? Bukankah ini adalah tugas dan tanggung jawab seorang Khalifah? Mengapa lari dari tanggung jawab yang utama. Kalau masih ragu dengan pertolongan Allah, lalu bagimana dengan kualitas akidahnya? Kalau tidak ragu dengan pertolongan Allah mengapa tidak melaksanakan tugas utamanya? Sudah jadi khalifah kenapa takut… apakah Khalifah Abu Bakar dan Umar seorang yang penakut untuk menjalankan semua itu?
17. Wali Al Fattaah rahimahullah masih dalam bukunya (2005) dalam Bab Cara Mukminin Menghadapi masalah telah mengutip ayat sebagai berikut;
12. Jamaah Muslimin (Hizbullah) mengklaim sebagai “Al Jama’ah” satu-satunya golongan yang selamat dan seorang muslim tidak boleh berada di luar jamaahnya. Salah satu yang menjadi landasannya adalah hadits ” …Sesungguhnya tidaklah seorang itu memisahkan diri dari Al Jama’ah walau sekedar sejengkal, lalu ia mati kecuali ia mati laksana kematian jahilayah.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas). Menurutnya semua muslimin yang berada di luar Khalifahnya berarti mereka berada di luar Al Jama’ah. Dengan pemahaman yang keliru tentang Al Jama’ah dari Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah, maka Imam Al-Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas bahkan beberapa sahabat dan tabi’in termasuk orang yang mati laksana kematian jahiliyah, karena beliau hidup dan mati setelah berakhirnya Khalifah Ali bin Abu Thalib Ra dan sebelum datangnya Khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah. (Na’u dzubillah min dzalik)
13. Prof. Dr. Yusuf Al Qaradawi sekalipun ia juga tidak berada di atas jalan yang benar (hizbiyah) telah menulis buku edisi Indonesia yang berjudul “Khilafah Islamiyah Suatu Realita Bukan Hayalan.” Qaradawi yang pentolan IM dan sekarang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan umat islam sedunia, hingga hari ini belum berani mewujudkan Khilafah Islamiyah tersebut. Karena menurutnya ada tiga tahapan untuk mewujudkan Khilafah Islamiyah yang pertama; Kesatuan Darul Islam. Yang kedua; Kesatuan sumber hukum tertinggi. Dan yang ketiga; Kesatuan kepemimpinan pusat. Sekalipun Khilafah Islamiyah suatu realita dan bukan hayalan karena hadits juga meyebutkan demikian, tapi perjalanan untuk merealisasikan Khilafah tersebut tidaklah mudah, mungkin butuh waktu ke depan berabad-abad lamanya. Suatu hal yang amat mengejutkan bagi dunia islam yang mendengarnya bahwa Wali Al Fattaah rahimahullah yang hanya mengetahui beberapa ayat dan dalil tanpa merujuk pemahaman ulama salaf (ahlus sunnah) mengaku dirinya sebagai Khalifah hanya dengan modal baiat dari sekelompok orang saja. Beginikah ketawadhu’an seorang muslim untuk menjadi seorang Khalifah bagi dunia Islam? Dan lebih aneh lagi Khilafah yang sudah berumur 53 tahun ini belum dikenal dan tidak diakui oleh masyarakat sekitarnya, karena khilafah ini hanya bisa mengumbar janji tanpa bukti.
14. Seorang Khalifah sudah seharusnya memiliki Sumber hukum dan kekuasaan yang tertinggi, oleh karenanya ia tidak berada di bawah peraturan atau hukum orang lain. Khalifah Wali Al Fattah rahimahullah tidak memiliki perangkat hukum apapun sehingga membiarkan muslimin bahkan jamaahnya sekalipun untuk berhukum dengan hukum orang lain. Baik dalam perkara perdata maupun pidana, bahkan untuk mendirikan pesantrennya saja (Tarbiyah Khilafah katanya) mereka harus mengajukan izin dari pemerintahan lain. Kalau sudah ada pemerintahan sah yang mengatur semua urusan muslimin (ulil amri) mengapa harus mendirikan ulil amri baru? Kalau bermaksud ingin menyelamatkan akidah muslimin ikutlah jalan yang ditempuh oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in mereka adalah generasi terbaik dalam Islam. Mereka sangat paham tentang apa itu Jama’ah Muslimin, Al Jamaah dan Khilafah serta bagaimana cara mengamalkannya.
15. Wali Al Fattaah rahimahullah telah mempraktekkan bid’ah khilafah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bid’ah pertama adalah pada tanggal 20 Agustus 1953 ia memprakarsai mendirikan gerakan islam “Hizbullah.” Bid’ah kedua adalah ia menerima bai’at dari segelintir orang yang mengangkatnya menjadi Imam gerakan islam tersebut. Bid’ah ketiga beberapa tahun kemudian ia merubah nama gerakan islam “Hizbullah” tersebut menjadi “Jamaah Muslimin (Hizbullah) dugaan saya karena ia menemukan hadits “Talzamu jamaatal muslimin wa imaamahum” (tetapi ia tidak paham dengan makna yang sebenarnya) wallahu ‘alam. Bid’ah keempat ia mendakwahkan dan menta’arufkan Jamaah Muslim (Hizbullah) mestinya yang didakwahkan adalah ajakan tauhid dan menghidupkan sunnah. Bid’ah kelima ia memisahkan diri dari jamaah muslimin yang ada (kaum muslimin dalam satu negeri) kemudian menjadikan jamaahnya sebagai kelompok baru, ashabiyah dan menambah perpecahan umat islam. Inilah ciri-ciri pejuang hizbiyah yang tidak memiliki ulama, mereka berjuang untuk golongannya sendiri sekalipun mengatasnamakan khilafah fil ardh.
16. Jamaah Wali Al Fattaah rahimahullah mengklaim dirinya sebagai wujud dari Al jamaah. Bukankah tangan (kekuatan) Allah bersama Al jamaah? Sebagai khalifah Wali Al Fattaah rahimahullah tidak melaksanakan hukum pidana Islam? Tidak memerangi kesyirikan? Dan juga tidak memerangi kelompok bid’ah yang mewabah? Bukankah ini adalah tugas dan tanggung jawab seorang Khalifah? Mengapa lari dari tanggung jawab yang utama. Kalau masih ragu dengan pertolongan Allah, lalu bagimana dengan kualitas akidahnya? Kalau tidak ragu dengan pertolongan Allah mengapa tidak melaksanakan tugas utamanya? Sudah jadi khalifah kenapa takut… apakah Khalifah Abu Bakar dan Umar seorang yang penakut untuk menjalankan semua itu?
17. Wali Al Fattaah rahimahullah masih dalam bukunya (2005) dalam Bab Cara Mukminin Menghadapi masalah telah mengutip ayat sebagai berikut;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat 1)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat 1)
Beliau atau jamaahnya barangkali tidak pernah sadar kalau Wali Al Fattaah rahimahullah telah berbuat mendahului Allah dan Rasulnya dengan mendirikan gerakkan Islam “Hizbullah” kemudian mengatasnamakan Khilafah fil Ardh. Pada hal Allah belum mengangkat masa Mulkan Jabariyah dari permukaan bumi. Mengapa Wali Al Fattaah rahimahullah tidak bersabar dan lebih bertakwa kepada Allah, bukankan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Demikianlah koreksi terhadap keberadaan Jamaah Wali Al Fattaah rahimahullah yang mengklaim amirnya sebagai Khalifah. Saya sangat hormat dengan Bp. Muhyidin Hamidy, sebagai penerus kepemimpinannya, ust. KHAFAS, ust. AHI, ust. Wahyudi KS dan asatidz yang lain. Lebih khusus kepada para ust di Cilacap dan seluruh ikhwan di manapun berada. Saya sangat mencintai kalian semuanya, tetapi bagaimanapun juga saya lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Hari ini akidah saya tidak dapat dipaksakan untuk memahami makna Al Jamaah, Jamaatul Muslimin dan Khilafah sebagaimana yang kalian pahami dan yakini.
Saya nasehatkan kepada kalian semua untuk tidak mengikuti hawa, ikutilah pemahaman para sahabat dan ulama salaf dalam memahami apa itu Al Jamaah, Jamaatul Muslimin dan Khilafah. Mereka adalah generasi terbaik umat islam yang harus diikuti pemahaman dan jalannya. Sekali lagi mari kita sikapi hal ini dengan hati yang bening bukan dengan emosi yang kotor dan mengotori. Tanyakan pada nurani diri kita masing-masing apakah yang sedang kalian amalkan adalah Khilafah sebagaimana Khulafa’ur Rasyidin? Apakah kita harus memaksakan diri menegakkan Khilafah pada saat kita tidak memiliki kemampuan? Apakah jamaah kita bukan bagian dari hizbiyah? Wahai para ustadz, belajarlah kepada para ulama salaf tentang apa itu Al Jamaah? Apa itu Jamaah Muslimin? Dan apa itu Khilafah? Demi Allah mereka adalah pewaris para nabi yang mesti kita tanya kepadanya tentang sesuatu yang kita tidak paham. Sebagai seorang muslim janganlah kalian berlaku sombong dengan meremehkan perkataan para sahabat dan salafus shalih. Ilmu kita, amal kita, akhlak kita, ketawadhu’an kita, kezuhudan kita sungguh sangat jauh dibandingkan dengan mereka.
Yang harus dilakukan oleh umat Islam sekarang ini adalah tetap istiqamah dalam Jamaah Muslimin (dalam arti yang sebenernya bukan nama belaka), taat pada ulil amri (umara=penguasa dan ulama), meninggalkan segala bentuk gerakan hizbiyyah dan firqah-firqah. Umat Islam tidak selamanya harus di bawah kepemimpinan Khilafah. Keberadaan Penguasa seperti Presiden, perdana mentri atau Raja bagi umat Islam adanya atas kehendak Allah, dan Hanya Allah juga yang akan mengangkatnya. Mendirikan Khilafah di dalam wilayah kekuasaan penguasa muslim yang sah, bukanlah mengikuti jalan ulama ahlus sunnah wal jamaah.
Kepada semua ikhwan saya mohon maaf atas keputusan yang saya ambil, mungkin tulisan ini membuat telinga kalian terasa panas dan hati anda menjadi gerah, jika demikian adanya, maka ketahuilah kalian masih jauh dari sifat sabar. Kepada semua ikhwan saya juga mohon maaf atas segala kesalahan saya selama bergaul yang mungkin keterbatasan ruang dan waktu menyebabkan di antara kita terhalang untuk saling bertemu. Saya tegaskan bahwa saya akan tetap berada di Jamaah Muslimin (dalam arti yang sebenarnya) dan keluar dari hizbiyah jamaah Wali Al Fattah, karena saya wajib menyelamatkan diri dari kesesatan yang saya yakini. Allah telah membimbing saya menuju sebuah jalan yang amat terang benderang, itulah Islam yang murni yang tidak pernah hilang dari dulu hingga sekarang bahkan sampai akhir zaman. Bukan Islam yang muncul pada tahun 1953 M. Dan bukan Islam yang tidak dibimbing oleh para ulama sebagai pewaris para nabi.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar